berwisata rohani serta berkunjunglah ke HKBP Sipirok
Komentar, tanggapan dan saran dapat dikirimkan ke e-mail: hkbpsipirok@yahoo.com

Minggu, 12 September 2010

Indonesia, Belajarlah Arti Toleransi

JAKARTA, KOMPAS.com — Masyarakat Indonesia masih harus banyak belajar tentang arti toleransi terhadap sesama. Belajar toleransi sangat penting karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Tanpa memahami toleransi, energi bangsa ini hanya akan terkuras oleh konflik horizontal yang tidak perlu.

"Saya menyesali peristiwa yang menimpa penatua ST Sihombing. Ini menjadi tanda bahwa rasa toleransi dalam masyarakat masih harus dipelajari," kata Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Franz Magnis Suseno, ketika dihubungi Kompas.com, Minggu (12/9/2010).

Magnis diminta berpendapat mengenai peristiwa kekerasan yang menimpa jemaat HKBP Pondok Timur, Ciketing, Bekasi, Jawa Barat, Minggu pagi. Dalam peristiwa tersebut, seorang penatua gereja, ST Sihombing, ditusuk di bagian perut oleh sekelompok orang. Kekerasan juga terjadi terhadap Pendeta Luspida Simanjuntak yang dipukul dengan balok kayu di bagian pelipis kiri.

Menurut Magnis, kejadian yang menimpa Sihombing sulit dilepaskan dari kejadian sebelumnya, yaitu ketegangan antara jemaat HKBP dan masyarakat sekitar menyangkut pendirian gedung gereja. Masyarakat HKBP dilarang melakukan ibadah di lokasi gereja. Namun, jemaat HKBP tidak menghentikan ibadah mereka. Setiap kali ibadah dilaksanakan, sekelompok orang berkerumun di sekitar lokasi gereja. Sebelumnya, pernah terjadi bentrok antara masyarakat sekitar dan jemaat.

Magnis berharap, dengan kejadian ini, masyarakat dapat lebih dewasa memandang keberagaman. Para pemuka dan tokoh agama juga ditantang untuk mengarahkan umatnya menghormati perbedaan dalam masyarakat Indonesia yang sangat beragam. "Karena selalu ada kesulitan jika orang tidak mau menerima kelompok yang berbeda," katanya.

Lebih jauh ia mengatakan, peristiwa yang terjadi pagi tadi menyiratkan kebencian bercampur emosi. Ia berharap, polisi bisa segera menangkap pelakunya.

Tjahjo: Penusukan Telah Nodai Idul Fitri

Tjahjo: Penusukan Telah Nodai Idul Fitri

JAKARTA, KOMPAS.com - Sekjen DPP PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo mengatakan, jajaran partainya sangat terpukul dengan peristiwa berdarah berupa penusukan Penatua dan penganiayaan atas Pendeta HKBP di Bekasi yang dinilainya telah menodai Idul Fitri.

"Tragedi berdarah yang terjadi dalam suasana Idul Fitri terhadap umat yang akan melakukan ibadahnya di Bekasi tadi pagi benar-benar menodai hari penuh berkah ini. Makanya PDI Perjuangan (PDI-P) melalui fraksinya di DPR RI meminta Polri segera mengusut tuntas dan menangkap pelakunya," tandasnya di Jakarta, Minggu (12/9/2010).

Tjahjo Kumolo yang juga Ketua FPDI-P di DPR RI menambahkan, tindak penusukan dan penganiayaan terhadap pimpinan umat ini pantas dikutuk.

"Karena sebagai umat beragama tentunya sangat terganggu kalau dalam ibadah saja ada yang tega melakukan tindakan keji dan berlangsung masih dalam suasana Idul Fitri, sehingga benar-benar menodai keikhlasan hari yang fitri ini," ujarnya.

Tjahjo Kumolo menambahkan, agama itu sesungguhnya diturunkan Tuhan untuk kedamaian umat manusia, bukan dipakai sebagai alat kekerasan atas sesama.

"Agama diturunkan agar manusia damai bahagia. Anehnya banyak orang beragama atasnama agama melakukan pengeboman, membunuh tokoh agama, menyegel rumah ibadah agama lain, dan niat membakar kitab suci, melarang orang lain beribadah," ungkapnya.

Ia menjelaskan pula, pernyataan FPDI-P melalui Badan Musyawarah (Bamus) dengan tegas menunjukkan agama diturunkan Tuhan agar manusia damai bahagia.

"Tapi apa yang terjadi sekarang, agama bukan lagi milik Tuhan yang menyayangi dan mengasihi umat ciptaan-Nya , yang meridhai kedamaian. Tegasnya, agama jangan menjadi milik manusia penyebar kebencian," tandasnya.

Bagi Tjahjo Kumolo, justru Tuhan akan murka jika manusia saling bermusuhan.

"Ingat, agama bukan untuk kebutuhan Tuhan, tapi kebutuhan dan kemaslahatan manusia. Makanya Tuhan akan murka jika orang-orang beragama menyebar kebencian, kecemburuan, kedengkian dan haus darah atas nama agama," ujarnya.

Ia meyakini, tujuan agama itu ialah ridho Allah SWT dan ridha (damai) dengan sesama manusia.

"Dalam Kristen disebut Tuhan di Sorga, dalam Islam Tuhan disebut Anta Al Salam (Pemilik dan Sumber Kedamaian Sorga). Jadi jangan ada yang menyebar kebencian," tandas Tjahjo Kumolo lagi.

Menko Polhukam: Usut Penganiaya Pendeta!

Menko Polhukam: Usut Penganiaya Pendeta!

JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto meminta Polri segera mengusut pelaku penusukan atau insiden penganiayaan terhadap dua pemuka Gereja HKBP Ciketing, yaitu Sintua ST Sihombing dan Pdt Luspida Simanjuntak. Kedua tokoh gereja HKBP itu ditusuk pada Minggu (12/9/2010) pagi.

"Saya instruksikan Polri segera mencari dan menindak pelaku penganiayaan sesuai hukum berlaku," katanya di Jakarta melalui pesan singkat.

Sebelumnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto segera berkoordinasi dengan Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri dan jajarannya hingga ke tingkat Polres Metro Bekasi untuk segera menangkap pelaku penusukan di HKBP.

"Presiden menginstruksikan polisi untuk memburu, mengejar, menangkap, dan mengadili pelaku tindak kekerasan terhadap dua pendeta HKBP," ujar Juru Bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha.

Julian mengatakan, Presiden juga kembali menegaskan, tak ada ruang bagi para pelaku tindak kekerasan di Indonesia. Tindak kekerasan, atas dasar dan alasan apa pun, tidak dapat ditoleransi.

Para pelaku juga harus dipastikan mendapatkan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

"Presiden juga menegaskan, kejadian ini tidak dapat dikategorikan sebagai konflik agama," kata Julian.

Presiden memerintahkan, polisi beserta jajarannya harus dapat memastikan bahwa kejadian serupa tak terjadi lagi pada masa mendatang.

Musuh Kebebasan Beragama Nyata

Musuh Kebebasan Beragama Nyata

JAKARTA, KOMPAS.com - Penusukan terhadap penatua HKBP di Bekasi harus mendapat perhatian ekstra serius. Lebih dari sebelumnya, pemerintah dihadapkan pada kebutuhan krusial untuk melindungi kebebasan beragama dari kaum reaksioner yang memusuhinya.

Hal itu dikatakan Rachland Nashidik, Sekretaris Departemen Pemajuan dan Perlindungan HAM DPP Partai Demokrat dalam pernyataan pers di Jakarta, Minggu (12/9/2010).

Rachland menyatakan ini terkait peristiwa kekerasan yang menimpa jemaat HKBP Pondok Timur, Ciketing, Bekasi, Jawa Barat, Minggu pagi. Dalam peristiwa tersebut, seorang penatua gereja, ST Sihombing, ditusuk perutnya oleh sekelompok orang. Kekerasan juga terjadi terhadap Pendeta Luspida Simanjuntak yang dipukul dengan balok kayu pada pelipis kirinya.

Menurut Rachland, pelaku bisa jadi bagian dari komunitas pemeluk agama yang sudah lama berkonflik di daerah itu. Bisa juga pihak luar yang sengaja memanfaatkan konflik untuk kepentingan sendiri.

Apapun, menurut Rachland, tiba saatnya pemerintah melihat bahwa pihak-pihak yang dengan pelbagai cara, politik atau kriminal, menyangkal hak minoritas non-muslim atas kebebasan beragama di Indonesia adalah nyata, terorganisir dan makin menguat.

Dikatakannya, mereka ada bukan saja di kamp yang tersembunyi, memanfaatkan kebebasan demokratik dalam demonstrasi di jalanan, namun juga tampil terbuka di dalam kabinet. Manifestasi pendirian mereka, dalam bentuk kebijakan politik maupun kekerasan kriminal, sama-sama menimbulkan kecemasan dalam perasaan umum. Di dalam dirinya, itu semua adalah ancaman terhadap integritas kebangsaan serta fundamen negara republik.

"Secara politik, keadaan itu juga menjadi peluang terbuka untuk dimanfaatkan pihak-pihak antipemerintah yang memiliki tujuan politiknya sendiri," kata Rachland.

Sabtu, 04 September 2010

PUJI TUHAN ! PTUN Kabulkan Gugatan HKBP Bekasi dan Depok

PTUN Kabulkan Gugatan HKBP Bekasi dan Depok


Gugatan HKBP Piladelfia Bekasi dikabulkan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Bandung Jawa Barat, pada sidang, Kamis (2/9). PTUN juga mengabulkan gugatan HKBP Pangkalan Jati Depok tentang proses perijinan mendirikan rumah ibadah. Dengan demikian proses penghentian/pencabutan ijin pendirian kedua Gereja HKBP tersebut oleh Pemda setempat dinyatakan salah. Jadi pendirian kedua gereja HKBP tersebut dari sudut putusan PTUN sudah dapat diteruskan.


Dalam usia NKRI yang baru merayakan HUT ke-65 ternyata masih banyak yang perlu dibenahi. Salah satunya tentang kebebasan atau kemerdekaan beragama yang telah diatur dalam UUD 45. “Kita sedih, ternyata aturan FKUB dan Peraturan Bersama Menteri lebih kuat dari UUD 45. Buktinya kejadian penutupan HKBP Bekasi dan Depok,” kata Sekjen HKBP Pdt Ramlan Hutahaean MTh.

Padahal, lanjutnya, gereja bertugas untuk melayani warga negara sehingga memiliki kualitas iman yang saling mendukung dengan program pemerintah untuk membangun masyarakat.

Sementara itu, Ephorus HKBP Pdt Dr Bonar Napitupulu dalam keterangan persnya mengatakan, Peraturan Bersama 3 Menteri itu tidak senafas dan tidak sejiwa dengan UUD 45 dan Pancasila. Peraturan Bersama itu juga tidak punya tempat dalam struktur hukum di NKRI. “Tidak mungkin hanya beberapa menteri berkumpul untuk menciptakan peraturan yang berfungsi sebagai Undang-Undang yang mengatur kehidupan masyarakat,” katanya.

Satu hal yang tidak dapat diterima akal sehat, ada kelompok masyarakat yang ingin mendirikan rumah ibadah, tetapi belum ada ijin untuk memenuhi peraturan, langsung ada kelompok lain menghakimi dengan kekerasan. “Kita tidak bisa kembali ke hukum rimba atau main hakim sendiri,” tegasnya.

Di Gereja HKBP Pangkalan Jati, Walikota mencabut ijin yang dikeluarkan pemerintah sebelumnya, sehingga HKBP menempuh jalur hukum. PTUN telah memenuhi tuntutan kita, dengan membatalkan pencabutan ijin itu. “Sungguh menjadi kewajiban pemerintah untuk mengamankan keputusan itu sebagai perwujudan dari negara hukum yang kita anut,” pintanya.

Namun demikian, lanjutnya, masih banyak lagi tindakan kekerasan, ketidakadilan, perlakuan hukum rimba dan main hakim sendiri yang dialami gereja secara khusus HKBP seperti yang terjadi di HKBP Pondok Timur Indah. “Apapun alasannya, beribadah adalah Hak Asasi Manusia yang paling mendasar,” ujar Ephorus.

Minggu, 08 Agustus 2010

"Orang Kristen sejati adalah seperti kayu cendana, yang mengeluarkan wewangiannya ke kapak yang memotongnya tanpa balas menyakitinya."
Sundar Singh (1889-1929),misionari India

Andreas Yewangoe: Pemerintah Kurang Menghargai Kebebasan Beragama


Andreas Yewangoe, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), secara mendalam menanggapi kasus penyerangan sebuah gereja di Kota Bekasi, Jawa Barat, baru-baru ini, yang disebutnya sebagai contoh ketidaktegasan aparat pemerintah setempat.


Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Pdt Andreas Yewangoe mengatakan hatinya selalu terusik setiap terjadi pelanggaran hak kebebasan beribadah yang menimpa umat beragama. Namun yang paling dia sesalkan adalah sikap pemerintah tidak tegas dalam menindak para pelakunya.

"Ketika ada benturan (antar umat agama yang berbeda) itu disikapi dengan tindakan yang kurang tegas, maka sebenarnya secara tidak langsung, pemerintah agak tidak menghargai kebebasan itu," tegasnya.

Menurut pendeta yang lama berkecimpung dalam kegiatan dialog antar umat beragama ini, seharusnya aparat pemerintah setempat dapat mencarikan jalan keluar apabila muncul kasus menyangkut hak kebebasan menjalankan ibadah ini.

"Bukan hanya untuk umat Kristen, tetapi di tempat lain kalau ada umat Islam atau Hindu, Buddha mengalami kesulitan. Mereka harus memfasilitasi dan mencarikan jalan keluar kalau ada masalah," kata peraih gelar Doktor di bidang teologi di Universitas Vrije, Amsterdam, tahun 1987 ini.

Andreas yang dilahirkan di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur ini, khawatir jika persoalan seperti ini dibiarkan akan berdampak kepada kewibawaan negara. "Apabila penyerangan gereja ini terus terjadi, bukan tidak mungkin kewibawaan negara akan tergerus oleh kelompok-kelompok ini," paparnya.

Dalam perkembangan terbaru, PGI telah melaporkan masalah penyerangan gereja ini kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, setelah merasa laporan kasus-kasus sebelumnya tidak ditanggapi secara serius oleh aparat di bawahnya.

Meski kelompok yang menyerang gereja di Kota Bekasi disebut-sebut menggunakan atribut Islam, Andreas menolak anggapan jika kasus itu pertentangan Islam-Kristen.

"Kami tidak mau yang terjadi ini seakan-akan pertentangan antara Kristen dan non-Kristen," tegasnya. Menurut penalarannya, hubungan antar umat Islam dan Kristen selama ini hampir tidak ada masalah.

"Yang kemudian yang menjadi persoalan, adalah ketika aspek-aspek lain masuk, misalnya aspek politik atau ekonomi," ungkap bapak dua anak yang mengaku punya keluarga yang beragama Islam. Sebagai gantinya, dia menyebut para pelaku hak kebebasan beragama itu sebagai "orang yang kurang menghormati konstitusi" atau "tidak menghormati konstitusi."

Sebagai pemimpin tertinggi organisasi PGI, yang menghimpun sekitar 80 persen umat Kristen di seluruh Indonesia, Andreas mengaku telah menjalin komunikasi dengan pimpinan ormas agama lain.

"Tak hanya sebatas dialog, tetapi juga relasi-relasi pribadi yang cukup intim dengan pemimpin Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya," ungkapnya.

Dia kemudian mencontohkan, kebiasaan saling mengirim pesan pendek melalui telepon seluler dengan Dien Syamsudin, Ketua Umum PP Muhammadiyah. Jalinan ini menurutnya penting, untuk menghilangkan rasa curiga yang selalu muncul dalam perjalanan hubungan antar umat agama yang berbeda.

Juga komunikasi seperti ini sangat bermanfaat ketika dihadapkan kasus-kasus yang berlatar masalah agama. Tetapi Andreas yang lulusan Sekolah Tinggi Teologia Jakarta ini mengaku hubungan akrab di tingkat pemuka agama itu, kurang berimbas sampai di kalangan umat kebanyakan.

Menjawab pertanyaan tentang bagaimana menghilangkan kecurigaan yang masih melekat dalam pergaulan antar umat Islam-Kristen, mantan Rektor Sekolah Tinggi Theologia di Kupang, NTT ini mengakui "saling curiga itu bukanlah persoalan baru dalam hubungan antar umat beragama".

Dia kemudian memberikan contoh perihal keinginan umat Kristen membangun gereja, yang menimbulkan kecurigaan di kalangan umat Islam.

"Misalnya saja, saudara Muslim melihat pembangunan gereja antara lain disebut sebagai 'strategi Kristenisasi', yang dalam pengertian yang kasar, itu mengajak orang lain untuk masuk Kristen," ungkapnya terus-terang.

Menurutnya, pola seperti ini merupakan sisa-sisa dari pemikiran lampau yang dipraktekkan oleh penguasa kolonial Belanda.

"Tetapi jangan lupa bahwa di kalangan gereja-gereja Kristen pun, pemahaman itu makin lama makin berubah. Yang disebut pemberitaan Injil, memberitakan mengenai pembebasan dari penderitaan dan keterbelakangan yang dilakukan Allah kepada manusia," katanya.

Namun Andreas mengaku, "Di kelompok Kristen tertentu, masih ada pandangan lama itu. Tentu saja, bisa dipahami (apabila) saudara Muslim kemudian berkata 'loh kok umat kami' dibawa ke sana."

Kendatipun demikian, menurutnya, merupakan hak asasi setiap manusia untuk menganut agama sesuai dengan yang diyakininya. "Sehingga, andaikata, kalau ada yang mau beralih agama, itu harus diizinkan," tandasnya.

Namun, Andreas segera menambahkan, "Pemberitaannya harus mengenal sopan santun, etika, moral, dan jangan secara serampangan dilakukan, dan tentu saja harus juga memperhatikan rasa dari saudara-saudara (umat agama) lain."

Sebaliknya, ungkapnya, kecurigaan terhadap agama lain juga masih ditunjukkan sebagian umat Kristen. Dia mencontohkan adanya rasa curiga terhadap motif pemberlakuan peraturan di daerah tertentu yang disebutnya berbau "syariah".

"Mau dibawa kemana negara ini? Ini kan negara Pancasila, kenapa, misalnya Perda di daerah itu berbau syariah?" katanya, menirukan suara-suara yang berkembang di komunitas Kristen. Karena itulah agar kecurigaan itu dapat semakin dikurangi, Andreas kembali menekankan betapa pentingnya dialog antar pemimpin agama.

"Supaya kita tahu persis kenapa umat Islam melakukan itu, kenapa orang Kristen melakukan itu, sehingga tidak mudah kita curiga apa yang dikerjakan mereka," paparnya.

"Jadi, dengan kata lain, kita butuhkan komunikasi yang terus-menerus," katanya lagi.

Dan ini membutuhkan waktu yang lama dan tidak bisa secara instan. "Karena bagaimanapun, saya pakai istilah beban sejarah itu cukup berat bagi Islam dan Kristen," ungkapnya.

Dalam perbincangan dengan BBC selama sekitar satu jam itu, pendeta kelahiran 31 Maret 1945 ini menyinggung pula soal kehadiran kelompok 'fundamentalis' di semua agama.

"Fundamentalisme itu ada di semua agama. Itulah kelompok yang berusaha untuk 'memurnikan' agama. Tetapi itu hal yang hampir tak mungkin, sebab agama itu selalu bersentuhan dengan realitas. Dan karena itu, kalau mau dimurnikan, apa yang mau dimurnikan. Kembali kepada yang lalu, apanya yang lalu?"

Andreas memang tidak sepakat dengan cara berpikir seperti itu. "Lebih baik," menurutnya, "subtansi agama yang membebaskan itulah yang harus diangkat, dan dinterpretasikan secara terus-menerus di dalam bersentuhan dengan kenyataan".

Lebih lanjut dia mengaku ciri-ciri yang melekat pada fundamentalisme juga menghinggapi pada sebagian umat Kristen.

"Dan karena itu kami misalnya tak terlalu nyaman kalau ada yang membuat slogan 'Indonesia harus dimenangkan untuk Kristus'. Mungkin di kalangan kami itu biasa-biasa saja, karena itu ucapan itu menyatakan iman. Tetapi kalau ucapan itu masuk ke ruangan publik, yang berbeda agama dan pemahaman, dan persepsi, lalu itu bisa menjadi persoalan. Lalu bisa muncul 'Loh orang kristen ini mau apa? Apakah mau jadi agresor. Nah ini salah paham," paparnya.

Karena itulah, pendeta Andreas mengajak umat Kristen, "janganlah memakai kalimat yang bagi orang lain tak dipahami." (bbc)
dari : www.terangdunia.com